Selamat Datang di Portal Sekolah

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA AWAL MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
 Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak pribadi dan kolektif antara mubalig (pendidik) dengan peserta didiknya setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah, maka mulailah mereka membangun masjid. Masjid
difungsikan sebagai tempat ibadah dan pendidikan. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul di samping rumah tempat kediaman ulama atau mubalig. Setelah itu muncullah lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya seperti pesantren, dayah, surau. Nama-nama tersebut walaupun berbeda, tetapi hakekatnya sama yakni sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan agama. Perbedaan nama adalah dipengaruhi oleh perbedaan tempat. Perkataan pesantren populer bagi masyarakat islam di Jawa, rangkang, dayah, di Aceh, surau di Sumatra Barat. Inti dari materi pendidikan tersebut adalah ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu seseorang.
Pada tahap awal pendidikan islam itu berlangsung secara informal. Para Muballigh banyak memberikan contoh teladan dalam sikap hidup mereka sehari-hari. Para Muballigh itu menunjukan akhlaqul karimah, sehingga masyarakat yang didatangi menjadi tertarik untuk memeluk agama islam dan mencontoh perilaku mereka.
Didalam sejarah islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW, telah difungsikan rumah ibadah tersebut sebagai tempat pendidikan. Rasul SAW menjadikan Masjid Nabawi untuk berlangsungnya proses pendidikan di dalamnya. perbuatan Beliau ini ditiru oleh khalifah-khalifah sesudah beliau, baik hanya Khulafaur Rasyidin maupun khalifah-khalifah Bani Umayah. Abasyiyah, Fatimiyah, Usmaniyah dan lain sebagainya. Dengan demikian Masjid berfungsi sebagai tempat pendidikan adalah merupakan suatu keharusan dikalangan masyarakat muslim.
Tentu saja setelah terbentuknya masyarakat muslim pada daerah tertentu di Indonesia,d apat dipastikan bahwa mereka membangun masjid, dan dengan adanya masjid tersebut dapat pula dipastikan bahwa mereka menggunakannya untuk melaksanakan proses pendidikan islam didalamnya, dan sejak saat itu pula lah mulai berlangsungnya pendidikan non formal.
Selain dari proses diatas yakni dimulai dari terbentuknya pribadi-pribadi muslim kemudian dari kumpulan pribadi-pribadi tersebut membentuk masyarakat muslim dan dari situ munculnya kerajaan islam, tetapi juga bisa terjadi para Muballigh terlebih dahulu mengislamkan penguasa setempat, dan dengan demikian masyarakat atau rakyatnya memeluk Agama Islam seperti yang terjadi pada beberapa kerajaan, yaitu Kerajaan Malaka, dan beberapa kerajaan lainnya. Dengan demikian, terbentuk pulalah secara otomatis masyarakat muslim.
B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka kami ingin membahas hal pokok dalam makalah ini yang kami rumuskan dalam bentuk rumusan masalah sebagai berikut:
1.        Bagaimana Tujuaan dan Landasan Pendidikan Islam?
2.        Bagaimana Sistem Pendidikan dan Pengajaran Islam?
3.        Bagaimana Corak dan Sifat Pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAAN

  1. Tujuaan dan Landasan Pendidikan Islam
Islam adalah agama yang komprehensif, maka wajar saja pengajarannya merupakan pengajaran yang mempunyai muatan kerakyatan. Tujuannya memberikan pengetahuan tentang agama, bukan untuk memberikan pengetahuan umum. Pendidikan Islam juga bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui latihan dan pengkondisian kegiatan kognitif, afektif dan psikomotorik. Karena itu pendidikan memberikan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya. Karena itu pendidikan Islam bertujuan:
  1. Membentuk manusia beraqidah (tarbiyah ‘aqidiyah)
  1. Membentuk manusia beraklak mulia (tarbiyah khuluqiyah)
  1. Membentuk manusia berfikir (tarbiyah fikriyah)
  1. Membentuk manusia sehat dan kuat (tarbiyah jismiyah)
  1. Membentuk manusia kreatif, inisiatif, antisipatif, dan responsive (tarbiyah am liyah)
Sedangkan landasan Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
a.       Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
b.      Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
c.       Menyadarkan manusia tterhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya
  1. Sistem Pendidikan dan Pengajaran Islam
Ada beberapa lembaga pendidikan Islam awal yang muncul di Indonesia yaitu:
1.      Masjid dan Langgar
Diantara  lembaga pendidikan yang  memegang peranan penting pada penyebaran agama Islam di pulau jawa adalah  “Langgar dan Pesantren”. Pengajaran dilanggar merupakan pengajaran agama permulaan. Mula-mula murid-murid mempelajari abjad arab, kemudian mengejah ayat-ayat al-quran pertama dengan suara tertentu. Pelajaran diberikan dengan sistem sekepala, guru menyebutkan sesuatu dan murid menirunya, yang dicita-citakan ialah dapat membaca al-quran sampai tamat.Lama belajar tidak tentu, biasanya berlngsung kurang lebih satu tahun. Tetapi kadang-kadang hanya diikuti selama beberapa bulan saja. Biasanya pelajaran diberikan pada pagi hari dan malam hari, berlangsung kira-kira dua jam lamanya. Biasanya yang menjadi gurunya adalah seseorang yang sudah memiliki pengetahuan agama yang agak mendalam. Guru itu tetap dipandang sebagai orang yang sakti, murid-murid tidak boleh mengencam kepada guru, karena dianggap berdosa. Uang sekolah tidak dipungut bagi pelajaran agama permulaan itu. Bila seseorang murid sudah menamatkan pelajarannya dalam arti sudah dapat membaca al-quran sampai tamat, maka diadakan selamatan atau biasa disebut khataman.
Masjid fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat yang lima waktu ditambah dengan sekali seminggu dilaksanakan shalat jum’at dan dua kali setahun dilaksanakan shalat Hari Raya Idul fitri dan Idul Adha. Selain dari masjid ada juga tempat ibadah yang disebut langgar, bentuknya lebih kecil dari masjid dan digunakan hanya untuk tempat shalat lima waktu, bukan untuk tempat shalat jum’at. Selain dari fungsi utama masjid dan langgar difungsikan juga untuk tempat pendidikan. Ditempat ini dilakukan pendidikan buat orang dewasa maupun anak-anak. Pengajian yang dilakukan untuk orang dewasa adalah pengajian penyampaian-penyampaian ajaran islam oleh Muballigh ( Ustadz,Guru,Kyai ) Kepada para jamaaah dalam bidang yang berkenaan dengan aqidah, ibadah dan akhlak. Sedangkan pengajian untuk anak-anak berpusat kepada pengajian Al-Qur’an menitik beratkan kepada kemampuan membacanya dengan baik sesuai dengan kaedah-kaedah bacaan dan juga diberi pendidikan keimanan ibadah dan akhlak.
Al-Abdi dalam bukunya “Almadlehal” menyatakan bahwa masjid merupakan tempat terbaik untuk melakukan kegiatan pendidikan. Dengan menjadikan lembaga pendidikan dalam masjid akan terlihat hidupnya sunah-sunah islam, menghilangkan bid’ah-bid’ah, mengembangkan hukum-hukum Tuhan, serta menghilangnya stratifikasi rasa dan status ekonomi dalam pendidikan. Maka dengan demikian masjid sudah merupakan lembaga kedua setelah keluarga, yang jenjang pendidikannya terdiri dari sekolah menengah dan sekolah tinggi dalam waktu yang sama.
Memang masjid atau langgar merupakan institusi pendidikan yang pertama dibentuk dalam lingkungan masyarakat muslim. Pada dasarnya masjid atau langgar mempunyai fungsi yang tidak terlepas dari kehidupan keluarga. Sebagai lembaga pendidikan, berfungsi sebagai penyempurna pendidikan dalam keluarga, agar selanjutnya anak mampu melaksanakan tugas-tugas hidup dalam masyarakat dan lingkungannya. Pada mulanya pendidikan di langgar atau masjid, dalam arti sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal, dan sekaligus lembaga pendidikan sosial.
2.      Pesantren
Pengajaran yang lebih lanjut dan lebih mendalam diberikan dipesantren. Murid-muridnya dinamakan santri, pada umumnya terdiri dari anak-anak yang lebih tua dan telah memiliki pengetahuan dasar, yang mereka peroleh dilanggar. Para santri yang biasa berasal dari berbagai tempat, dikumpulkan dalam satu ruangan yang disebut pondok  (semacam asrama). Berdekatan dengan pondok berada masjid dan rumah guru. Biasanya guru lazim dipanggil ajengan atau kiyai, adakalanya guru menerima sumbangan dari murid-muridnya berupa uang atau bahan makanan. Sumbangan itu betul-betul merupakan kerelaan dari santrinya. Guru hidup bersama santri-santrinya, adakalanya santri-santri itu harus memasak makanan sendiri-sendiri.
Untuk itu mereka membawa bekal dari rumahnya masing-masing berupa beras, uang dan alat-alat menanak nasi. Lama belajar disini tidak menentu, ada yang 1 tahun, tetapi ada juga yang sampai 10 tahun atau lebih. Banyaknya santri yang belajar pada beberapa pesantren, pelajaran pertama diberikan pada pagi hari, sesudah selesai sembhayang shalat subuh. Sesudah itu para santri melakukan kerja bakti bagi gurunya, seperti membersihkan halaman, berkebun, berkerja disawah dan sebagainya. Sesudah makan siang semua beristirahat, untuk kemudian dimulai lagi dengan pelajaran dan diselilingi dengan menghafal. Ba’da magrib atau ba’da isya dimulai lagi dengan pelajaran.
Mata pelajaran yang terpenting adalah :
  1. Usuluddin ( pokok-pokok ajaran kepercayaan )
  1. Usul Fiqh ( alat pengali hukum dari quran dan hadits)
  1. Fiqh (cabang dari usuluddin)
  1. Ilmu arobiyah ( untuk mendalami bahasa agama )
Di Sumatera barat tidak ada pemisahan antara langgar dan pesantren. Sekolah-sekolah agama disana diberi nama surau. Di Aceh sekolah agama semacam itu disebut Rangkang. Dari uraian diatas jelaslah bahwa pesantren (surau atau rangkang) itu banyak menunjukan persamaan dengan pusat-pusat pendidikan di India. Kalau ada perbedaan hanya terletak pada bahan pengajaran saja dan juga pada murid-muridnya. Pengajaran islam diikuti oleh setiap orang yang menghendakinya.
Ditinjau dari segi sejarah, belum ditemukan data sejarah, kapan pertama sekali berdirinya pesantren, ada pendapat mengatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak awal masuknya islam ke Indonesia, sementara yang lain berpendapat bahwa pesantren baru muncul pada masa Wali Sanga dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama mendirikan pesantren.
Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar santri. Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bamboo. Disamping itu kata pondok mungkin juga berasal dari bahasa arab yaitu funduq yang berarti hotel atau asrama.
Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga pendidikan lanjutan. Namun demikian faktor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan akan sangat menentukan bagi tumbuhnya suatu pesantren. Pada umumnya berdirinya suatu pesantren diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kyai. Karena keinginan menuntut dan memproleh ilmu dari guru tersebut, maka masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar.
Kelangsungan hidup suatu pesantren amat tergantung kepada daya tarik tokoh sentral ( guru/kyai ) yang memimpin, meneruskan atau mewarisinya. Jika pewaris menguasai sepenuhnya baik pengetahuan keagamaan, wibawa, keterampilan mengajar dan kekayaan lainnya yang diperlukan, maka umur pesantren tersebut akan lama bertahan. Sebaliknya pesantren akan menjadi mundur dan hilang, jika pewaris atau keturunan kyai yang mewarisinya tidak memenuhi persyaratan. Jadi seorang figur pesantren memang sangat menentukan dan benar-benar diperlukan.
Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di jawa, sebelum datangnya agama islam telah ada lembaga pendidikan jawa kuno yang praktik kependidikannya sama dengan pesantren. Lembaga pendidikan jawa kuno itu bernama “Pawiyatan”, dilembaga tersebut tinggal Ki Ajar dengan Cantrik. Ki Ajar adalah orang yang mengajar dan Cantrik adalah orang yang diajar. Kedua kelompok ini tinggal disatu komplek dan disinilah terjadi proses belajar mengajar.
Dengan menganalogikan pendidikan pawiyatan ini dengan pesantren, sebetulnya tidak terlalu sulit untuk menetapkan bahwa pesantren itu telah tumbuh sejak awal perkembangan islam di Indonesia khususnya di jawa. Sebab model pendidikan pesantren itu telah ada sebelum islam masuk yaitu pawiyatan. Dengan masuknya islam, maka sekaligus diperlukan sarana pendidikan, tentu saja model pawiyatan ini dijadikan acuan dengan mengubah sistem yang ada ke sistem pendidikan islam.
Inti dari pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama. Karenanya mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama. Pada tingkat dasar anak didik baru diperkenalkan tentang dasar agama dan Al-Qur’anul Kariim. Setelah berlangsung beberapa lama pada saat anak didik telah memiliki kecerdasan tertentu maka mulailah diajarkan kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini juga di klasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Mahmud Yunus membagi pesantren menjadi empat tingkatan, yaitu :
a. Tingkat dasar.
b. Menengah
c. Tinggi.
d. Takhassus.
Setelah datang kaum penjajah barat (Belanda), peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan islam semakin kokoh. Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang reaksional terhadap penjajah. Karena itu, di zaman Belanda sangat kontras sekali pendidikan di pesantren dengan pendidikan sekolah-sekolah umum. Pesantren semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sistim pendidikan pesantren baik metode, sarana fasilitas serta yang lainnya masih bersifat tradisional. Administrasi pendidikannya belum seperti sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah colonial Belanda, non klasikal, metodenya sorogan, wetonan hapalan. Menurut Zamaksyari Dhofier agama lewat kitab-kitab klasik, sedangkan sekolah umum Belanda sama sekali tidak mengajarkan pendidikan ada lima unsur pokok pesantren :
Kyai.
Santri.
Masjid.
Pondok.
Pengajaran kitab-kitab klasik.
Dalam perkembangan berikutnya pensantren mengalami dinamika, kemampuan dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi, menjadikan pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern. Karena itu hinga saat sekarang pesantren tersebut di bagi menjadi dua secara garis besar: - Pesantren Salaf, adalah pesantren yang masih terkait dengan system dan pola yang lama, - Pesantren Khalaf, adalah pesantren yang telah menerima unsur-unsur pembaharuan.

3. Meunasah, rangkang dan dayah.
Secara etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah, tempat belajar atau sekolah. Bagi masyarakat Aceh meunasah tidak hanya semata-mata tempat belajar, bagi mereka meunasah memiliki multifungsi. Meunasah di samping tempat belajar, juga berfungsi tempa ibadah, tempat pertemuan, musyawarah, pusat informasi, tempat tidur, dan tempat menginap bagi musyafir, tempat perayaan kenduri masal dalam kampung, seperti maulid nabi SAW, nuzulul Qur’an, dan Isra’ mi’raj dan juga sebagai tempat pejabat-pejabat gampong memutuskan dan memecahkan masalah-masalah social kemasyarakatan.
Di tinjau dari segi pendidikan, meunasah adalah lembaga pendidikan awal bagi anak-anak yang dapat disamakan dengan tingkatan sekolah dasar. Di meunasah para murid di ajar menulis, membaca huruf Arab, ilmu agama, dan akhlaq.
Meunasah dipimpin oleh seorang tengku, yang di Aceh besar disebut tengku meunasah. Tengku meunasah bertugas untuk membina agama di suatu tempet-tempat tertentu. Adapun rangkang adalah tempat tinggal murid, yang dibangun di sekitar masjid. Menurut Qanun Meukuta Alam, dalam tiap-tiap kampung harus ada satu meunasah. Masjid berfungsi sebagai tempat berbagai kegiatan umat, termasuk didalamnya kegiatan pendidikan. Karena murid perlu mondok dan tinggal, maka perlu di bangun tempat tinggal mereka disekitar masjid, tempat tinggal murid disekitar inilah yang disebut dengan rangkang. Pendidikan di rangkang ini terpusat kepada pendidikan agama, disini telah diajarkan kitab-kitab yang berbahasa arab, tingkat pendidikan ini jika dibandingkan dengan sekolah saat sekarang adalah SLTP. System pendidikan di rangkang ini sama dengan pendidikan di pesantren. Di rangkang juga ada yang namanya tengku rangkang, yang bertugas untuk menjadi guru bantu yang membimbing sisiwa yang tinggal di rangkang.
Lembaga pendidikan berikutnya yang popular di Aceh adalah Dayah . dayah berasal dari bahasa arab Zawiyah. Kata Zawiyah pada mulanya merujuk kepda sudut dari satu bangunan,dan sering dikaitkan dengan masjid. Disudut masjid itu terdapat proses pendidikan antara si pendidik dengan si terdidik. Selanjutnya Zawiyah dikaitkan tarekat-tarekat sufi,dimana seorang syeikh atau mursyid melakukan kegitan pendidikan kaum sufi.
Dengan demikian, kata dayah yang berasal dari kata Zawiyah disamping memiliki hubungan kebahasaan yakni berubahnya kata Zawiyah menjadi dayah menurut dialek Aceh, juga mempunyai hubungan fungsional, yakni sama-sama merujuk kepada tempat pendidikan. Hasjmy menjelaskan tentang dayah adalah sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan mata pelajaran agama yang bersumber dari bahasa arab, misalnya fiqih, bahasa arab, tauhid tasawuf dan lan sebagainya. tingkat pendidikan ini setara dengan SLTA.                 
Pada Abad ke-18, surau dan dayah sudah mapan eksistensinya. Melalui lembaga-lembaga tersebut islam telah mengakar kuat di Nusantara. Akan tetapi, keberadaan lembaga-lembaga ini mulai terancam bahaya kolonialisme yang menawarkan westerenisasi, modernisasi, sekaligus kolonialisme sehingga ditantang kemampuannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Besarnya tantangan itu telah mampu menghapuskan beberapa lembaga pendidikan tradisional dari pentas sejarah.
4. Surau
Dalam kamus bahasa Indonesia, surau diartikan tempat umat Islam melakukan ibadah. Pengertian ini apabila dirinci mempunyai arti bahwa surau berarti suatu tempat bangunan kecil untuk tempat shalat,tempat belajar mengaji anak-anak,tempat wirid bagi orang dewasa.
Christine Dobbin memberikan pengertian bahwa surau adalah rumah yang didiami para pemuda setelah akil balligh, terpisah dari rumah keluarganya yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak.
Perkataan surau menyebar luas di Indonesia dan Malaysia, yang dalam kehidupan keseharian adalah suatu bangunan kecil yang penggunaaan utamanya untuk shalat berjamaah bagi masyarakat sekitar.
Di Sumatera barat pengertian surau tidak hanya berfungsi kepda beberapa fungsi yang disebutkan diatas,tetapi lebih luas dari itu lagi. Surau bagi masyarakat minangkabau tidak hanya mempunyai fungsi pendidikan dan ibadah, tetapi lainnya juga mempunyai fungsi budaya.
Surau berfungsi sebagai lembaga sosial buadaya,adalah fungsinya sebagai tempat pertemuan para pemuda dalam upaya mensosialisasikan diri mereka. Selain dari itu surau juga berfungsi sebagai tempat persinggahan dan peristirahatan para musafir yang sedang menempuh perjalanan. Dengan demikian surau mempunyai multifungsi.
Didalam referensi lain dijelaskan pula oleh Azyumardi Azra’ bahwa surau juga menjadi tempat persinggahan bagi musafir dan sebagainya yang sedang melalui suatu desa. Dengan masuknya islam, surau juga mengalami proses islamisasi. Fungsinya sebagai tempat penginapan anak-anak bujang tidak berubah, tetapi fungsinya diperluas seperti fungsi masjid, yaitu sebagai tempat belajar membaca Al-Qur’an dan dasar-dasar agama dan tempat ibadah.
  1. Corak dan Sifat Pendidikan Islam
Pada umumnya, Islam di Nusantara berkembang melalui pendekatan-pendekatan budaya oleh seorang ulama. Ketika itu, aset-aset setempat diubah menjadi prasarana untuk penyebaran ajaran agama, sehingga membawa kesan yang positif terhadap masyarakat. Ini berbeda dengan pendekatan radikal yang sering membawa imej tegas dan keras. Berdasarkan isu pendekatan tradisi dan budaya yang dilakukan oleh ulama ini, Taufik Abdullah menyimpulkan terdapat tiga corak penyebaran Islam di Nusantara, yaitu corak Pasai, corak Melaka dan corak Jawa. Dalam ketiga-tigA bentuk pendekatan itu, ulama tetap menjadi kunci dalam pengukuhan ajaran Islam, bahkan ulama sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial. Perubahan sosial ini berhubung erat dengan perubahan sosial yang bersifat profetik. Untuk itu diperlukan paradigma untuk menjelaskan perubahan ini. Pada corak Pasai, Islam berkembang melalui dinamika kultur kerajaan.
Corak Malaka, pada umumnya dipengaruhi perdagangan, yaitu pendekatan terhadap situasi perdagangan. Sedangkan corak Jawa lebih kentara dilakukan melalui penaklukan pusat kekuasaan setempat. Berdasarkan tiga corak penyebaran ini, Taufik Abdullah menemui dua bentuk penerimaan Islam dalam masyarakat. Dalam corak Pasai dan corak Melaka, formasi sosial Islam dalam masyarakat lebih menyatu, sehingga terjadi pengisianpengisian terhadap budaya setempat (integrative tradition). Sedangkan pada corak Jawa dengan titik fokus penaklukan pusat kerajaan, maka formasi sosial Islam lebih cenderung bercorak dialog yang disebut dengan tradition of dialogue Selanjutnya, Trimingham dalam menganalisa penyebaran Islam di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia, mengatakan bahawa faktor sejarah dan sosiologi masyarakat setempat tidak dapat ditinggalkan. Menurutnya, Islam berkembang melalui organisasi dengan tiga fasa perkembangan, yaitu fasa kangah, fasa tariqah, dan fasa taifah. Pada fasa kangah ditandai dengan kehidupan keagamaan dan sosial yang tidak berstruktur dan bercampur-aduk. Kangah sebagai pusat aktivitas seorang guru (ulama) dalam menyebarkan ajarannya. Guru memegang otoritas terhadap hal-ihwal Islam, sehingga Islam berkembang dalam dinamika keguruan. Situasi penyebaran Islam seperti ini berlaku di seluruh dunia Islam.
Selanjutnya, Nizami (1957) dan Rizvi (1983) mengulas tentang fasa pertama, yaitu fasa kangah yang menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan di daerah-daerah baru Islam. Aktivitas yang berlaku dalam kangah memainkan peranan penting dalam mengintegrasikan masyarakat bukan Islam ke dalam komunitas Islam, karana pada fasa kangah ini, guru (ulama) memainkan peranan dalam berbagai bidang seperti pendidikan, budaya, politik dan ekonomi, yang sangat penting dalam membentuk kepercayaan keagamaan masyarakat.
Penyebaran Islam pada fasa kedua yaitu fasa tariqah merupakan fasa perkembangan aliran-aliran mistik dan sistimisasi terhadap pengajaran mistik. Sedangkan fasa ketiga telah menyemai munculnya apa yang disebut paradigma kiyai-santri, yang mana lahirlah para santri dan murid-murid yang patuh kepada kyai sebagai guru mereka. Pemikiran guru inilah kemudian disesuaikan dan dikembangkan oleh murid-murid ke daerah lain, atau ke kawasan tempat kediaman murid-murid setelah belajar dari seorang guru. Dalam catatan sejarah sejak delapan puluh hingga sembilan puluh tahun yang lalu, karya-karya daripada penyebar agama ini termasuk kaum sufi Islam memainkan peranan penting dalam proses Islamisasi. Ini menandakan bahawa alur penyebaran ajaran agama sangat didominasi oleh kancah pemikiran ulama. Situasi ini memudahkan untuk melihat pergerakan aliran-aliran teologi yang berkembang dalam masyarakat Islam. Biasanya, fenomena ini dapat dilihat dengan mudah melalui tarikat. Ajaran yang dikembangkan ulama pada umumnya bersesuaian dengan ajaran guru terdahulunya.
Dalam situasi tersebut, ulama telah mengemukakan ajaran Islam dasar sebagai panduan umat beragama dan ajaran itu sekaligus sebagai identiti mereka. Namun, keadaan masyarakat tradisional ini sangat berbeda dengan ulama tradisional, ulama tradisional sama halnya dengan kiyai tradisional di Jawa. Islam visi Kyai tradisional sering digambarkan sebagai fanatik dan teknik ritual dan agak menelantarkan dimensi pemahaman (rasionalitas) serta dimensi sosial. Ulama-ulama tradisional, juga tidak boleh lepas dari komunitas masyarakat tradisional. Ulama yang hidup dalam kancah masyarakat tradisional yang biasanyadiliputi oleh kemiskinan, tingkah laku dan taraf pemikiran yang masih sederhana. Situasiini membatasi ulama dalam menyampaikan ajaran keagamaan yang lebih rasional dan modern. Formulasi ulama tradisional tidak selamanya terikat pada konteks pemikiran, tetapi juga bergantung pada komunitas yang dihadapi. Tetapi, dalam konteks ini, ulama tradisional dipahami sebagai elit agama yang mempunyai pemikiran tekstual dan kurang memperhatikan konteks reality dan rasional.
Pengabaian salah satu faktor tersebut akan menyebabkan berlakunya ketidaksempurnaan dalam ajaran Islam. Bagi golongan ini, agama dianggap sebagai suatu yang muktamad dan tidak boleh dibuat pentafsiran semula lagi. Teks agama harus dipahami seperti yang ada, sehingga kepahaman Islam terseleweng dan sukar menerima tafsiran yang rasional. Situasi ini menyulitkan mereka untuk melakukan perubahan. Semua ajaran yang berbeda dari tradisi kelompok dianggap sebagai penyimpangan terhadap ajaran agama. Bahkan, sering melemparkan tuduhan kafir. Di Minangkabau, situasi ini dapat dibaca dalam alur sejarah sebelum terjadinya pembaharuan pendidikan Islam
Sifat Pendidikan Islam didasarkan pada:
  1. Robbaniyah, seluruh aspeknya didasarkan pada nilai robbaniyah dijabarkan dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya.
  1. Syamilah, pendidikan dibangun dengan memperhatikan segala aspek dalam kehidupan baik akal, jasad dan ruh, maupun dalam kerangka hubungan individu dengan masyarakat, alam dan al Khaliq. Tanpa pemisahan.
  1. Mutakamilah, Pendidikan tidak terbatas pada tempat tertentu. Berlangsung di sekolah, masjid, rumah, di jalan, di kebun, medan pertempuran bahkan di pasar.
  1. Marhaliyah, Seluruh tabiat alam terjadi secara bertahap, demikian pula perkembangan fisik dan psikis manusia. Karena itu pendidikan dibangun dengan sifat bertahap dan mengikuti perkembangan kematangan manusia.
  1. Fardhiyah, Islam mewajibkan setiap individu untuk menuntut ilmu. Implikasinya, berarti melibatkan semua pihak untuk mempersiapkan segala perangkat, sarana dan perlengkapan pendidikan sebaik-baiknya.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bersamaan masuknya agama Islam ke Indonesia masuk pula kebudayaannya. Pengaruh kebudayaan Islam meliputi semua segi kehidupan, termasuk pendidikan. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia muslim yang sholeh (berakhlak) yang baik. Ada dua lembaga pendidikan penting pada penyebaran agama Islam yakni : langgar dan pesantren disusul kemudian adanya madrasah. Pendidikan agama Islam tidak terbatas, siapapun boleh mengikuti lembaga pendidikan Islam, sifat pendidikan demokratis dan pengajaran unuk rakyat. Di suatu tempat seperti di Sumatera Barat tidak ada pemisahan antara langgar dan pesantren, adalagi sekolah agama Islam disebut “surau”. Kemudian sekolah-sekolah Islam berkembang dan mendirikan bangunan sekolah yang disebut madrasah.


Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Link here | Link here | Link here
Copyright © 2014. SDN KARANGTAWANG 01 - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger